TINJAUAN
PUSTAKA
Serat
Menurut
Piliang dan Djojosoebagio (1996), serat pangan merupakan salah satu komponen
penting makanan yang sebaiknya ada dalam susunan diet sehari-hari. Serat telah
diketahui mempunyai banyak manfaat bagi tubuh terutama dalam mencegah berbagai
penyakit, meskipun komponen ini belum dimasukkan sebagai zat gizi Serat pangan
dapat didefinisikan sebagai seluruh komponen makanan yang tidak rusak oleh
enzim pencernaan manusia (Pomeranz & Meloan 1987). Defenisi terbaru serat
makanan yang disampaikan oleh the American Assosiation of Ceral Chemist adalah
merupakan bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau kabohidrat analog yang
resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada husus halus dengan fermentasi
lengkap atau partial pada usus besar (Joseph 2002).
Serat
dalam Makanan
Serat
dalam makanan (dietary fibre) bukanlah suatu kelompok bahan pangan yang
memiliki sifat kimia yang mirip. Meskipun umumnya tergolong karbohidrat yang
komplek, namun berdasarkan sifat kimiawi sebenarnya mereka sangat heterogen.
Ada yang berasal dari polisakarida penyusun dinding sel tumbuhan (struktural),
yaitu selulosa, hemiselulosa dan pektin. Adapula yang termasuk polisakarida
nonstruktural, yaitu getah (secreted & reserve gums). Kelompok lain
adalah polisakarida asal rumput laut (agar, carrageenans & alginates).
Berdasarkan sifat fisik-kimia dan manfaat nutrisinya, serat
dalam makanan dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu: larut (soluble)
dan tak larut (insoluble) dalam air. Serat yang soluble cenderung
bercampur dengan air dengan membentuk jarigan gel (seperti agar-agar)
atau jariangan yang pekat. Sedangkan serat insoluble umumnya bersifat
higroskopis: mampu menahan air 20 kali dari beratnya. Serat yang berasal dari
biji-bijian (cereals) umumnya bersifat insoluble, sedangkan serat
dari sayur, buah dan kacang-kacangan cenderung bersifat soluble (Joseph
2002).
Tepung Ikan
Ilyas
(2003) menyatakan, tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan
mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan atau
sisa ikan. Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada
daging ikan, menggunakan metode pengeringan dapat didahului dengan pemanasan
suhu tinggi. Hal ini digunakan untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh
bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali
bila waktu dan suhu yang digunakan cukup (Moeljanto 1982). Tepung ikan memiliki
nilai gizi yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino
essensial, terutama lisin dan metionin. Disamping itu tepung ikan juga kaya
akan vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Tepung
ikan merupakan juga merupakan sumber kalsium (Ca) dan phospor (P). Tepung ikan
juga mengandung trace element seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan
(Mn) dan kobalt (Co) (Moeljanto 1982a). Menurut LIPI (1999), komposisi kimia
tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan yang digunakan. Sebagai pedoman, tepung
ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi sebagai berikut:
- air (moisture) 6%-10%
- lemak 5%-12%
- protein 60%-75%
- abu 10%-20%
Menurut
Moljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6%
sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis, mengatakan kadar air
tepung ikan rata-rata 18% dengan selang terendah 6% sampai 10%. Sejenis jamur
(mold) dapat tumbuh pada kadar air tepung ikan. Tepung ikan dengan kadar
protein tinggi menghasilkan kadar mineral sekitar 12% dan 33% untuk kadar
protein yang rendah. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5-10% dan protein sebesar 60-65%. Analisis biskuit
formula terpilih (F4) adalah kadar air 4,13% (bk), kadar abu 2,52% (bk), kadar
protein 19,55% (bk), kadar lemak 21,99% (bk) dan kadar karbohidrat 55,94% (bk).
Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi per 100 gram biskuit.
Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan metode enzimatik secara in
vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah sebesar 89,34%. Sifat fisik biskuit
diukur rendemen, daya serap air dan analisis tekstur. Rendemen biskuit adalah
84,29%. Daya serap air biskuit adalah 1,79 ml/g. Sedangkan hasil uji tekstur
menunjukkan nilai untuk parameter kerenyahan 246,6 N/mm.
Metode Enzimatis
Metode enzimatik yang dikembangkan oleh Asp et al (1984) merupakan metode
yang dirancang berdasarkan kondisi fisiologi tubuh manusia. Metode fraksinasi enzimatis merupakan
metode analisis yang menggunakan enzim amilase yang diikuti oleh penggunaan
enzim pepsin pankreatik. Metode ini dapat mengukur kadar serat makanan total,
serat makanan larut, dan tidak larut secara terpisah. Prinsip kerja dari metode
ini yaitu bahan dihidrolisis disertai penyaringan hingga zat yang tersisa hanya
serat kasar sebagai residu yang tidak terhidrolisis (Amira 1997).
Metode
ini dapat mengukur kadar serat makan total, serat larut dan tak larut secara
terpisah. Kekurangan metode ini, enzim yang digunakan mungkin mempunyai
aktivitas lebih yang bisa saja merusak komponen serat. Kemudian kemungkinan
protein yang tidak terdegradasi sempurna dan ikut terhitung sebagai serat (Joseph
2002).
Menurut Robertson and Van Soest (1977), ada beberapa metode analisis serat,
antara lain metode crude fiber, metode deterjen dan metode enzimatis yang
masing-masing mempunyai keuntungan dan kekurangan. Data serat kasar yang
ditentukan secara kimia tidak menunjukkan sifat serat secara fisiologis. Selang
kesalahan apabila menggunakan nilai serat kasar sebagai TDF adalah antara 10
sampai 500%. Kesalahan terbesar terjadi pada analisis serialia dan terkecil
pada kotiledon tanaman (Joseph 2002).
Biskuit
Biskuit adalahproduk makanan kecil
yang renyah yang dibuat dengan cara dipanggang. Ciri-ciri dari biskuit
diantaranya, renyah dan kering, bentuk umumnya
kecil, tipis dan rata (Anonim 2010). Biskuit merupakan produk makanan yang
dibuat dari bahan dasar terigu yang dipanggang hingga kadar air kurang dari 5
persen. Biasanya resep produk ini diperkaya dengan lemak dan gula. Biskuit
keras adalah jenis biscuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk
pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar
lemak tinggi maupun rendah (Anonim 2006).
Bahan
baku utama untuk pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak dan lemak,
sedangkan bahan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air,
dan pengemulsi. Bahan pembentuk biskuit dapat dikelompokan menjadi dua jenis,
yaitu bahan pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi membentuk
adonan yang kompak. Sedangkan bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur
(Sudha 2007).
Menurut
Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat
dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses
pemanasan dan pencetakan. Biskuit diproses dengan pemanggangan sampai kadar air
tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah dibawa karena volume dan beratnya
yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Biskuit dapat dikarakterisasi
dari tingginya kandungan gula dan shortening serta rendahnya kandungan air di
dalam adonan. Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI
01-2973-1992. Standar
mutu biskuit telah diatur menurut SNI 01-2973-1992 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Persyaratan biskuit
menurut SNI 01-2973-1992
Komponen
|
Nilai yang
diizinkan
|
Air
|
maksimum
5%
|
Protein
|
minimum 9%
|
Lemak
|
minimum
9,5%
|
Karbohidrat
|
minimum
70%
|
Serat
kasar
|
maksimum
0,5%
|
Energi per
100 gram
|
minimum
400 kkal
|
DAFTAR
PUSTAKA
Amira N. 1997. Analisis Serat Makanan Larut, Tidak
Larut dan Total pada Berbagai Jenis Sayuran Segar dan Hasil Olahannya dengan
Metode Enzimatis. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Asp N G, L Prosky, L
Furda, J W De Vries, T F Schweizer and B F Harland. 1984. Determination of
Total Dietary Fiber in Foods and Food Products and Total Diets :
Interlaboratory study. J.A.O.A.C. 67 : 1044-1053.
Dewan Standardisasi Nasional. 1992.
SNI 01-2973-1992; Biskuit. Dewan
Standardisasi Nasional
Ilyas. 2003. Formulasi
biskuit dengan penambahan tepung ikan lele dumbo http://fema.ipb.ac.id/index.php/ [27November 2011]
Piliang W G dan S Djojosoebagio. 1996. Fisiologi Nutrisi. Edisi Kedua. Jakarta
: UI Press.
Pomeranz, Y. and Meloan, C.E. (1987). Food Analysis :
Theory and Practice. Second Edition. New York : Van Nostrand Reinhold
Company. p.146-147.
Sudha ML. 2007. Fat replacement in soft dough biscuits. Journal of Food Engineering
80 hal 922-930
Tidak ada komentar:
Posting Komentar